Jan 13, 2012

Kata-Kata


Tahun 2012 ini, tepatnya pada tanggal 24 Januari, anak saya akan berusia 6 tahun. Dia anak yang sangat lincah dan enerjik. Sedang sakit sajapun Ia masih saja pengen bergerak atau bermain. Teringat oleh saya, saat senggang saya tiba, salah satu permainannya, dan tentu saja saya diajak dalam permainannya, adalah Ia berperan menjadi orang bisu dan saya dimintanya untuk menebak perilaku yang diperagakan melalui komunikasi non verbalnya. Tanpa kesulitan pesan yang Ia tampilkan dapat saya tebak. Namun agar terkesan seru buatnya, seringkali saya berpura-pura kesulitan untuk menebak dan menyerah tidak tahu yang dimaksudkannya. Ia sangat gembira sekali dengan situasi “kekalahan” saya itu dan karenanya permainan itu dilakukannya berulang-ulang (dengan hipotesis saya kalah lagi). Sesekali sih saya bisa maklum dengan permintaannya itu, namun lama kelamaan bosan juga, dan saya menyatakan terus terang kepadanya bahwa saya bosan dan menyarankannya untuk berganti permainan. Mulanya dia sulit menerima pernyataan kebosanan saya (ekspresi tidak senang darinya dan pertanyaan mengapa?), tapi sekarang Ia sudah sangat bisa menerimanya.
Pengalaman saya di atas, memberi saya beberapa poin perenungan:
1.    Komunikasi merupakan wujud eksistensi manusia. Sekalipun bisu, setiap orang tetap perlu berkomunikasi, entah dengan dirinya, orang lain, atau siapapun. Komunikasi mengindikasikan adanya pengakuan yang sadar terhadap keberadaan orang lain. Melalui komunikasi, orang satu keluar dari tempurungnya untuk berhadapan, bertemu dan berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian melalui komunikasi, keutuhan sebagai manusia justru terjadi ketika hadirnya orang lain. Tidak adanya/kurangnya komunikasi adalah pertanda sekaligus penanda adanya persoalan dalam eksistensi manusia. 
2.  Komunikasi merupakan aspek vital dalam kehidupan manusia sebagai mahluk individual maupun sosial. Mendekati, bahkan ada yang bilang 80% komunikasi manusia dilakukan secara non verbal dan sisanya verbal. Komunikasi dapat berjalan dengan lancar ketika pesan tersampaikan kepada penerima pesan sebagaimana yang disampaikan pemberi pesan bila ada kesesuaian antara non verbal dan verbal. Jika timpang, dapat dengan mudah ditangkap adanya kepura-puraan atau aroma hipokrit atau kebohongan dari pemberi pesan.
3.   Kata-kata adalah perilaku berbudaya dari klan manusia yang berupaya mendeskripsikan dunianya, dan juga dirinya. Firman yang keluar dari perilaku berbudaya tersebut menuntut kesepahaman, kesepakatan, atau konsensus. Jika tidak, kesalahpahaman yang berujung pada konflik bisa saja terjadi. Dalam konteks ini, titik kritisnya adalah mengapa perlu konsensus? Ternyata, kata-kata tidak bisa melukiskan kenyataan. Kata-kata adalah interpretasi coba-coba. Parahnya adalah, yang disepakati diklaim sebagai kenyataan dengan kualitas kebenaran ultima, tidak bisa disanggah, tidak bisa dikritik. Doktrinnya Pokok’e. Nasib yang lain? Tentu saja SALAH!
Dalam organisasi yang core businessnya jasa (seperti institusi pendidikan), komunikasi adalah senjata yang powerfull, baik dalam makna positif ataupun negatif. Oleh karenanya, BIJAK-lah menggunakan kata-kata. Senandungkan kata-kata yang menghargai martabat kemanusiaan, bukan sebaliknya.
Yulius Y. Ranimpi, M.Si, Psikolog


0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Coupons