Tahun 2012 ini, tepatnya
pada tanggal 24 Januari, anak saya akan berusia 6 tahun. Dia anak yang sangat
lincah dan enerjik. Sedang sakit sajapun Ia masih saja pengen bergerak atau bermain. Teringat oleh saya, saat senggang
saya tiba, salah satu permainannya, dan tentu saja saya diajak dalam
permainannya, adalah Ia berperan menjadi orang bisu dan saya dimintanya untuk
menebak perilaku yang diperagakan melalui komunikasi non verbalnya. Tanpa kesulitan
pesan yang Ia tampilkan dapat saya tebak. Namun agar terkesan seru buatnya,
seringkali saya berpura-pura kesulitan untuk menebak dan menyerah tidak tahu
yang dimaksudkannya. Ia sangat gembira sekali dengan situasi “kekalahan” saya
itu dan karenanya permainan itu dilakukannya berulang-ulang (dengan hipotesis
saya kalah lagi). Sesekali sih saya
bisa maklum dengan permintaannya itu, namun lama
kelamaan bosan juga, dan saya menyatakan terus terang kepadanya bahwa saya
bosan dan menyarankannya untuk berganti permainan. Mulanya dia sulit menerima
pernyataan kebosanan saya (ekspresi tidak senang darinya dan pertanyaan mengapa?), tapi sekarang Ia sudah sangat
bisa menerimanya.
1. Komunikasi merupakan wujud eksistensi
manusia. Sekalipun bisu, setiap orang tetap perlu berkomunikasi, entah dengan
dirinya, orang lain, atau siapapun. Komunikasi mengindikasikan adanya pengakuan
yang sadar terhadap keberadaan orang lain. Melalui komunikasi, orang satu
keluar dari tempurungnya untuk
berhadapan, bertemu dan berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian melalui
komunikasi, keutuhan sebagai manusia justru terjadi ketika hadirnya orang lain.
Tidak adanya/kurangnya komunikasi adalah pertanda sekaligus penanda adanya
persoalan dalam eksistensi manusia.
2. Komunikasi merupakan aspek vital dalam
kehidupan manusia sebagai mahluk individual maupun sosial. Mendekati, bahkan
ada yang bilang 80% komunikasi manusia dilakukan secara non
verbal dan sisanya verbal. Komunikasi dapat berjalan dengan lancar ketika
pesan tersampaikan kepada penerima pesan sebagaimana yang disampaikan pemberi
pesan bila ada kesesuaian antara non verbal
dan verbal. Jika timpang, dapat dengan mudah ditangkap adanya kepura-puraan
atau aroma hipokrit atau kebohongan dari pemberi pesan.
3. Kata-kata adalah perilaku berbudaya dari
klan manusia yang berupaya mendeskripsikan dunianya, dan
juga dirinya. Firman yang keluar dari
perilaku berbudaya tersebut menuntut kesepahaman, kesepakatan, atau konsensus.
Jika tidak, kesalahpahaman yang berujung pada konflik bisa saja terjadi. Dalam
konteks ini, titik kritisnya adalah mengapa perlu konsensus? Ternyata, kata-kata
tidak bisa melukiskan kenyataan. Kata-kata adalah interpretasi coba-coba.
Parahnya adalah, yang disepakati diklaim sebagai kenyataan dengan kualitas
kebenaran ultima, tidak bisa disanggah, tidak bisa dikritik. Doktrinnya Pokok’e. Nasib yang lain? Tentu saja
SALAH!
Dalam organisasi
yang core businessnya jasa (seperti
institusi pendidikan), komunikasi adalah senjata yang powerfull, baik dalam makna positif ataupun negatif. Oleh
karenanya, BIJAK-lah menggunakan kata-kata. Senandungkan kata-kata yang menghargai
martabat kemanusiaan, bukan sebaliknya.
Yulius Y. Ranimpi, M.Si, Psikolog
0 comments:
Post a Comment