May 27, 2013

Wortel dan Kopi


Pangkatnya Jenderal Bintang Tiga dan sudah pensiun. Ia pernah menjadi salah satu pejabat tinggi di lembaga Kepolisian negara ini. Ia terkenal dengan kasus Cicak dan Buaya (Polisi vs KPK) dan kasus penggelapan dana pajak oleh Gayus yang menyeret beberapa perwira tinggi polisi. Namun, Ia berubah menjadi seorang pesakitan di pengadilan dan divonis hukuman penjara 3,5 tahun atas kasus suap dari satu perusahaan dan korupsi dana pengamanan PILGUB Jawa Barat. Upayanya untuk memperoleh kebebasan gagal, setelah Mahkamah Agung pada tanggal 22 November 2012 menolak permohonan kasasinya. Mendekati akhir bulan April lalu, Jaksa melakukan eksekusi kepada pensiunan Jenderal itu, namun gagal. Beberapa hari kemudian, Ia dinyatakan buron dan termasuk dalam DPO oleh Kejaksaan. Selang sehari dari penetapan DPO, tokoh ini muncul via media YouTube. Dalam rekaman yang berdurasi 15 menit 34 detik tersebut, Ia menuding Kejaksaan telah melakukan eksekusi liar, Ia mempertanyakan keabsahan tindakan eksekusi yang dilakukan kejaksaan terhadap dirinya. Berbagai argumentasi disampaikan, termasuk dugaannya sendiri terkait status politiknya yang adalah calon legislatif dari parpol tertentu untuk pemilu 2014. Setelah buron selama 4 hari, pada pukul 23.10 tanggal 2 Mei lalu, ybs menyerahkan diri di Kajari Cibinong, dan kini ditahan di Lapas Cibinong.

Dalam perspektif saya, penampilan ala Justin Bieber, Osama bin Laden dan Nazaruddin yang ditampilkan Susno Duadji via jejaring YouTube itu adalah upayanya untuk membentuk opini publik (pembentukan konotasi simbolik) bahwa dirinya adalah korban. Korban dari sistem peradilan yang tidak adil. Sistem peradilan telah memperlakukan dirinya secara semena-mena. Isu hukum yang membelit dirinya itu coba diubahnya menjadi sebuah tontonan teatertikal yang bertujuan untuk mengubah opini global atau publik, terlebih ada upaya dari tim pengacaranya untuk melaporkan kasus ini kepada komisi HAM Internasional. Berdasarkan ilmu semiotika, saya menyebut hal ini sebagai bentuk SEMIOTIK KORBAN. Artinya, Sang Purnawirawan Jenderal ini menjadikan diri dan persoalan hukum yang dihadapinya sebagai tanda (sign) dan tontonan melalui media (channel) dalam rangka menciptakan citra, makna atau label yang mengarah pada penciptaan streotipe dan stigmatisasi dan pada akhirnya mempengaruhi frame of reference atau scheme seseorang atau sekelompok orang. 
 
Dalam konteks ini, ketika sebuah peristiwa (pesan) menjadi sebuah tontonan, maka ia menjadi sebuah teks terbuka yang dapat ditafsirkan secara bebas dan dengan cara yang berbeda-beda. Dalam ruang teks yang terbuka, peluang bagi ideologi yang dominan (baca: mendominasi) akan sangat dengan mudah bergerak dan berupaya memberikan tafsiran-tafsiran tertentu berdasarkan kepentingannya. Dan bukan tidak mungkin dalam operasinya, pemilik ideologi dominan akan menciptakan berbagai distorsi makna atau kesadaran palsu dalam skala global. Dengan demikian pencitraan diri sebagai korban dapat dilihat sebagai produk pencitraan yang dilakukan oleh media global, yang di dalamnya masih perlu eksplorasi lebih mendalam dan kritis.

Pencitraan diri sebagai korban (self-victimization atau victim playing) biasanya bertujuan untuk menjustifikasi perlakuan jahat dari orang lain, untuk memanipulasi orang lain, untuk mendapat perhatian orang lain atau sebagai strategi koping. Individu yang memiliki karakter korbanisme biasanya gemar menyalahkan lingkungan dan atau orang lain atas “kemalangan” atau “ketidakberuntungan” atau “masalah” yang dihadapinya. Berkeluh-kesah, mengasihani diri sendiri, bahkan mencaci orang lain adalah hak baginya. Orang tua yang salah, teman kita yang salah, kolega kita yang salah, pimpinan kita yang salah, Tuhan yang salah. MEREKA harus bertanggung jawab atas permasalahan yang tengah saya hadapi sekarang ini. Karena merasa korban, individu itu tidak punya kewajiban untuk melakukan perbaikan atas keadaan tersebut, ORANG LAINLAH yang berkewajiban untuk itu.

Bagaimana dengan kita?

Memiliki mental korbanisme dapat membuat hidup kita menjadi lebih nyaman. Tetapi permasalahannya adalah bahwa sikap mental korbanisme tidak menyelesaikan masalah dan tidak memberikan perubahan apapun juga atas hidup kita. Perubahan hidup tidak akan terjadi sebelum kita mengakui dan bertanggung jawab atas hidup kita.

Apapun atau siapapun penyebab kejadian tersebut tidak berdampak sebesar sikap kita atas kejadian tersebut. Jika kejadian tersebut diumpamakan sebagai air mendidih maka sikap kita dapat diumpamakan seperti wortel atau kopi. Ketika wortel di masukkan ke dalam air mendidih, maka wortel yang tadinya keras akan menjadi lembek. Bahkan jika dibiarkan agak lama maka wortel tersebut akan hancur. Sebaliknya kopi yang di masukkan ke dalam air memiliki reaksi yang berbeda. Pertama, air panas yang ada akan membantu kopi mengeluarkan bagian terbaiknya, yaitu aroma dan rasa. Yang kedua, setelah mengeluarkan bagian terbaik dari dirinya, kopi akan mempengaruhi lingkungan sekelilingnya. ia akan mengubah air panas yang tadinya biasa saja menjadi air yang memiliki kenikmatan tersendiri.

Yulius Y. Ranimpi, M.Si, Psikolog


 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Coupons