Dec 6, 2010

METODE PELATIHAN: Pedagogis vs Andragogis (I)

Dalam kegiatan pelatihan, pemilihan dan penggunaan metode pelatihan atau pembelajaran memegang peranan yang sangat vital. Oleh karenanya dalam edisi ini akan dipaparkan secara ringkas 2 (dua) metode yang biasanya digunakan dalam pelatihan, yaitu metode pedagogis dan metode andragogis. Pada edisi Bulan Oktober ini kita akan dipaparkan terlebih dahulu metode pedagogis.Model pembelajaran pedagogis telah mendominasi dunia pendidikan dan pelatihan selama berabad-abad lamanya. Dominasi tersebut membuat model tersebut telah menjadi standar. Adapun anggapan yang mendasari model ini adalah:

Uang = Tujuan?

Di hampir setiap pertemuan pertama saya dengan mahasiswa baru, saya senantiasa bertanya, “ apa tujuan anda kuliah di tempat ini ?” Beragam jawab yang saya peroleh, tapi satu yang dapat saya simpulkan adalah mahasiswa ingin kelak jika telah selesai kuliah, mereka bakal memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan keinginan dan gaji yang tinggi atau besar. Pekerjaan yang layak? Masih dapat dipahami. Gaji yang tinggi atau besar? Hmm, nanti dulu.

Menyayangi tanpa Memanjakan Anak

Membaca judul di atas, rasanya sulit untuk membedakan antara menyayangi namun tidak memanjakan anak. Menyayangi anak, tentu dibarengi dengan perasaan ingin memberikan yang terbaik, menyediakan segala yang diinginkan anak, apalagi kalau anak meminta dengan cara yang membuat hati tak tahan (baca: menangis, marah-marah, atau merayu dengan manisnya). Pertanyaannya, saat seperti apakah yang tepat untuk memenuhi keinginan anak, tanpa membuat anak menjadi manja ?.


Mengapa menghentikan Botol (dot)?

Menghentikan anak untuk menggunakan botol memang sulit. Rasa tidak tega, tekanan ‘psikis’ dari nenek/kakek, oom/tante, tetangga, pengasuh, dan orang lain yang melihat, dapat membuat orang tua urung menghentikan penggunaan botol. Namun demikian, proses tersebut tetap perlu dilakukan.
Semua proses untuk menuju kematangan membutuhkan pengorbanan, begitu pula dengan proses melepaskan diri dari ketergantungan terhadap botol. Namun demikian, manfaatnya sungguh sebanding dengan pengorbanan yang dilakukan. Anak dapat merasa lebih percaya diri bahwa ia sanggup melepas ketergantungan, muncul rasa bangga, dan merasa diri sudah lebih besar. Hal ini juga membuat anak secara emosional lebih matang.

OUTBOUND TRAINING : tren atau kebutuhan? (3)

Isu kedua yang mendapat perhatian dalam analisa kebutuhan pelatihan adalah analisis pada tingkatan operasional. Tahap ini terkait dengan job requirement yang bertujuan mengumpulkan informasi yang terkait dengan knowledge, skills dan Attitudes (KSA). Kegiatan yang dilakukan antara lain melakukan analisis terhadap job description yang sudah ada, membagikan kuesioner, dan observasi. Pertanyaan yang dapat diajukan di tingkatan ini antara lain:
• Apa sajakah tugas dan tanggung jawab dari pekerjaan tertentu? Apakah ada perubahan tugas dan tanggung jawab dalam pekerjaan sehubungan dengan adanya perubahaan kebijakan di tingkat organisasi dalam bidang kesehatan dan keselamatan di tempat kerja? Jika iya, perubahaan apakah itu? Ketrampilan dan pengetahuan apa sajakah yang perlu dimiliki karyawan agar dapat memenuhi tugas dan tanggung jawabnya secara kompeten tanpa resiko terhadap kesehatan dan keselamatan?
Isu terakhir yang dibahas adalah analisis pada tingkatan individu (karyawan). Dalam analisis difokuskan pada KSA yang dibutuhkan oleh individu. Karyawan membutuhkan pelatihan baik untuk prestasi pribadi dan juga untuk memenuhi tuntutan pekerjaan Pertanyaan yang bisa diajukan di tingkatan individu antara lain:
• Ketrampilan dan pengetahuan apa saja yang sudah dimiliki karyawan? Pelatihan apa saja yang sudah diikuti masing-masing karyawan? Cara pelatihan seperti apa yang paling dapat memenuhi kebutuhan individu karyawan? Pelatihan di ruang kelas, pelatihan di tempat kerja, atau metode lain? Apakah lebih baik menggunakan pelatih dari luar atau dari dalam perusahaan? Apakah pelatihan sebaiknya dilakukan di dalam atau di luar jam kerja? Apakah ada karyawan yang mempunyai keterbatasan bahasa sehingga pelatihan perlu dilakukan dalam bahasa tertentu?
Akhir kata, agar program pelatihan dapat mengena sasaran maka langkah-langkah dalam analisis kebutuhan pelatihan sangat mutlak untuk untuk dilakukan. Demikian pengenalan ringkas mengenai analisis kebutuhan pelatihan. Semoga bermanfaat!
Yulius Yusak Ranimpi, M.Si, Psikolog

Kapan Perlu Psikotes? (2)

Beberapa kali saya mendapat telepon atau kunjungan dari orangtua yang intinya menginginkan agar anaknya dites. Alasannya beraneka ragam, mulai dari sekedar keinginan untuk mengetahui tingkat kecerdasan, atau alasan agar anak bersedia datang ke ruang konsultasi, karena ada permasalahan lain yang lebih serius.Untuk dapat memenuhi keinginan orangtua tersebut, sebelumnya diperlukan proses panjang untuk mengevaluasi persoalan dan kebutuhan yang sesungguhnya. Prosesnya dimulai dari wawancara dengan orangtua, wawancara dengan anak atau observasi (jika anak masih terlalu kecil), psikotes, dan terkadang juga dibutuhkan observasi di sekolah atau di rumah. Baru dari semua data tersebut, saya dapat mengambil kesimpulan mengenai permasalahan yang sesungguhnya, dan memberikan saran untuk langkah-langkah penanganannya.
Dalam hal ini, psikotes sering diperlukan sebagai alat yang dapat memberikan data penting mengenai tingkat kecerdasan, aspek-aspek kecerdasan, minat, bakat, maupun kepribadian seseorang. Psikotes sudah melalui proses standarisasi, sehingga dapat memberikan hasil yang dapat dipercaya.
Namun demikian, ada kalanya psikotes tidak sesuai untuk diberikan. Hal ini biasanya terjadi ketika anak masih terlalu kecil, atau memiliki keterbatasan fisik tertentu seperti lumpuh, bisu, tuli, atau buta. Dalam hal ini, psikotes dilakukan dengan menggunakan tes yang khusus dirancang untuk mengatasi keterbatasan tersebut, atau dapat diganti dengan observasi terstruktur.

Rudangta Arianti Sembiring, M.Psi

OUTBOUND TRAINING : tren atau kebutuhan? (2)

Pada edisi yang lalu, telah dipaparkan bahwa sebuah pelatihan dalam rangka pengembangan keterampilan, sikap dan pengetahuan seseorang dalam organisasi tidak bisa dilakukan atas dasar kecenderungan/tren. Langkah penting yang harus dilakukan adalah merancang terlebih dahulu desain pelatihan yang dimaksud. Desain pelatihan secara ringkas terdiri dari beberapa bagian, yaitu:
1.Analisa kebutuhan pelatihan
2.Menentukan tujuan pelatihan
3.Memastikan kesiapan peserta
4.Menciptakan suatu lingkungan belajar
5.Mengorganisasikan materi pelatihan
6.Memilih metode pelatihan
7.Mengevaluasi program pelatihan
Di antara bagian dari desain pelatihan di atas, bagian analisa kebutuhan pelatihan adalah yang paling menentukan. Dalam analisa kebutuhan pelatihan, terdapat tiga (3) isu penting yang perlu mendapat kajian yang benar-benar serius. Isu yang pertama adalah, apakah pelatihan yang ingin dilakukan tersebut telah menjadi kebutuhan pada level organsasi/perusahaan? Untuk menjawab pertanyaan itu perlu diperhatikan: arah strategi perusahaan (sangat tergantung pada strategi bisnis yang sedang dijalankan, seperti concentration strategy, internal growth strategy, external growth strategy atau deinvesment strategy), adanya dukungan dari level manajer, dan tersedianya sumber daya untuk mendukung. Bersambung…

Yulius Y. Ranimpi, M.Si, Psikolog


Kapan Perlu Psikotes? (1)

Mungkin banyak dari antara kita yang sudah pernah mengikuti psikotes. Mungkin ketika di sekolah dulu, atau ketika melamar pekerjaan. Ya, memang, pada umumnya psikotes dilaksanakan untuk kepentingan penjurusan dan seleksi calon karyawan. Di samping itu, ada juga yang mengikuti psikotes hanya karena sekedar ingin mengetahui tingkat kecerdasan atau yang biasa disebut dengan IQ (intelligence quotient).Namun demikian, mungkin banyak yang bertanya-tanya, kapan saat yang tepat untuk menggunakan psikotes?
Pada dasarnya psikotes merupakan alat bantu untuk mengenal karakteristik seseorang dengan cepat. Saat psikotes, psikolog menggunakan alat-alat tes yang telah teruji keandalan dan kevalidannya untuk menjaring sampel perilaku. Berdasarkan sampel tersebut, psikolog dapat menentukan taraf kecerdasan, bakat, minat, dan kepribadian seseorang. Psikolog juga dapat memprediksi perilaku sehari-hari, maupun perilaku yang akan muncul dalam situasi tertentu, misalnya dalam situasi yang menekan. Data tersebut kemudian dapat diolah sesuai dengan tujuannya.
Untuk tujuan penjurusan, psikolog kemudian mengevaluasi kecocokan karakteristik orang tersebut dengan karakteristik jurusan-jurusan yang ada di sekolah. Untuk kepentingan seleksi calon karyawan, psikolog kemudian akan mengevaluasi kesesuaian karakteristik pelamar dengan karakteristik pekerjaan dan perusahaannya. Misalnya saja untuk seleksi calon sales, salah satu aspek yang dievaluasi adalah keterampilan sosial. Namun demikian, tentu saja akan ada perbedaan keterampilan sosial yang dibutuhkan di antara sales perusahaan perbankan dengan sales di perusahaan konstruksi bangunan.
Agar psikolog dapat membuat evaluasi yang tepat, diperlukan kecermatan dalam memilih alat tes. Ada ratusan bahkan mungkin ribuan ragam alat tes di dunia, sehingga keputusan untuk memilih alat mana yang akan dipakai, didasarkan pada kemampuan suatu alat tes untuk memberikan data yang diperlukan agar tujuan penyelenggaraan psikotes tercapai. Oleh karena itu, mengetahui tujuan penyelenggaraan psikotes merupakan hal yang amat penting.Melihat proses kerja seorang psikolog seperti yang diuraikan di atas, tentunya kurang bijak jika kita memaksa seseorang untuk mengikuti psikotes hanya karena ingin memuaskan rasa ingin tahu mengenai IQ atau kepribadiannya saja. Pilihan untuk menggunakan psikotes sebaiknya didasarkan atas niat tulus untuk memanfaatkan data tersebut guna kepentingan yang lebih luhur.

oleh: Rudangta Arianti S., Psikolog

OUTBOUND TRAINING: trend atau kebutuhan? (1)

Outbound training, sudah jamak kita mendengar istilah itu. Seketika terbayang dalam benak kita, segala macam aktivitas luar ruangan yang “seru”, penuh kegembiraan, dan penuh tantangan yang membutuhkan tenaga fisik.Mulai dari dunia pendidikan hingga industri mengenakan istilah ini dalam setiap aktivitas pelatihan yang diselenggarakan di luar ruangan. Tidak ada yang salah dengan ini, karena outbound training memang bermula dari dunia pendidkan yang menekankan pada proses mencari pengalaman melalui kegiatan di alam terbuka. Sebelum mendalami outbound training, sebaiknya kita membahas dulu soal pelatihan.

Di dunia industri, pelatihan adalah salah satu cara yang digunakan untuk meningkatkan kinerja seseorang atau sekelompok orang (selain pendidikan dan pengembangan). Oleh karena itu, sebelum pelatihan diputuskan untuk menjadi solusi, maka perlu dilakukan assessment untuk mencari informasi yang terkait dengan itu. Assessment itu dikenal dengan sebutan analisis kebutuhan pelatihan. Analisis kebutuhan pelatihan bertujuan untuk mengetahui dengan benar dan tepat, apakah pelatihan itu sungguh-sunguh diperlukan dan atau merupakan satu-satunya alternatif solusi bagi persoalan kinerja yang sedang dihadapi. Pelatihan yang dilakukan tanpa analisis kebutuhan pelatihan, hanya akan menjadi ajang pemborosan dana, waktu, dan tenaga bagi yang menyelenggarakan, ditambah lagi dengan hasil yang tidak jelas. Dalam pelatihan, yang disasar adalah keterampilan tertentu yang dinilai perlu untuk segera diperbaiki. Oleh karenanya aspek psikomotorik (dalam hal ini keterampilan) mendapat perhatian yang cukup dominan. Dengan demikian yang menjadi prinsip dala pelatihan adalah how to do the right things now. Beda dengan pendidikan dan pengembangan yang lebih menyasar pada aspek pengetahuan dan afektif dan merupakan strategi jangka panjang.

Karena memiliki bobot pendidikan, maka pelatihan tidak bisa di lakukan dengan pertimbangan trend belaka atau ikut-ikutan. Segala sesuatu harus dihitung atau assest.
Bersambung.....

Edisi berikut: langkah-langkah analisa kebutuhan pelatihan.

oleh: Yulius Yusak Ranimpi, M.Si, Psikolog

Mari Memberi Stimulasi Dini

Istilah stimulasi dini sekarang ini semakin banyak diungkapkan. Stimulasi dini mengacu pada usaha memberi rangsangan pada anak sedini mungkin. Hal ini sebenarnya merupakan sesuatu yang bersifat alami, artinya, setiap orang tua secara alamiah akan berusaha merangsang anaknya. Rangsangan yang diberikan meliputi keterampilan-keterampilan baru yang belum dimiliki anak, seperti berbicara, memegang sendok, mengancingkan baju, memberi salam, dan lain sebagainya. Aneka keterampilan tersebut pada dasarnya merupakan keterampilan dasar yang diperlukan untuk bertahan hidup dalam lingkungan sosial.
Stimulasi pada anak-anak, terutama diperlukan sejak usia 0-5 tahun pertama kehidupannya. Pada saat ini, sel-sel otak bertumbuh dengan amat pesat, khususnya dari usia 0-3 tahun. Untuk mendukung pertumbuhannya, diperlukan asupan gizi yang cukup dan seimbang. Di samping itu, untuk mengoptimalkannya, diperlukan stimulasi yang tepat.
Bagaimana cara memberi stimulasi yang tepat? Pertama, kita perlu mengenali kemampuan yang sudah dimiliki oleh anak saat ini, kemudian membandingkan dengan standar kemampuan yang umum berlaku untuk anak-anak seusianya. Standar ini biasanya ditempel di dinding Puskesmas, ruang praktek dokter anak, ruang praktek bidan, atau Rumah Sakit yang menangani anak-anak. Bisa juga mencari di buku-buku yang membahas mengenai perkembangan anak, atau di internet. Bila mencari di internet, kata kunci yang dapat digunakan antara lain developmental milestone. Dengan mengetahui standar kemampuan yang berlaku umum, kita dapat menentukan, apakah kemampuan anak kita saat ini merupakan hal yang wajar dimiliki untuk anak seusianya, melebihi anak seusianya, atau malah tertinggal. Stimulasi yang diberikan sebaiknya satu tingkat di atas kemampuan anak saat ini.
Kedua, kita sebaiknya memperhatikan kesiapan anak untuk mempelajari hal-hal atau keterampilan baru tersebut. Salah satu tanda kesiapannya adalah ketika ia menunjukkan rasa ingin tahu tentang hal tersebut, misalnya mencoba meniru, memegang atau bahkan membongkar barang yang menarik perhatiannya.
Ketiga, lakukan dengan gembira, tidak memaksa, dan tetap menjaga rasa ingin tahu anak. Hal ini diperlukan, karena walau menunjukkan kesiapan, anak tetap membutuhkan waktu dan latihan untuk menguasai keterampilan tersebut. Sama seperti kita, walaupun menunjukkan kesiapan untuk menyetir mobil, tetap membutuhkan waktu dan latihan agar terampil menyetir. Dalam hal ini, perlu diingat bahwa setiap anak memiliki kecepatan perkembangan yang unik, dan berbeda antara anak yang satu dan yang lainnya. Oleh karena itu, kekuatiran yang ada mengenai perkembangan anak, lebih baik didiskusikan dengan ahli tumbuh kembang anak.
Dengan memberikan stimulasi yang tepat, maka perkembangan anak akan menjadi lebih optimal. Relasi antara orang tua dan anak pun akan menjadi semakin erat. Anak akan menjadi gembira, dan lebih percaya diri.
Rudangta Arianti Sembiring, Psikolog.

Oct 15, 2010

TRUST


Belakangan ini saya mencermati beberapa kejadian yang membuat saya berpikir mengenai trust. Mengapa ada anak-anak yang demikian percaya kepada guru renangnya, sehingga mereka bersedia belajar meloncat, atau memasukkan kepala mereka ke dalam air? Namun mengapa sebagian anak tidak mau mengikuti perintah sang guru, dan menangis?
Dalam Bahasa Indonesia, trust dapat diartikan percaya yang mendalam. Ketika kita akan menitipkan uang kita, tentu kita memilih orang yang dapat dipercayai (trustable), dan orang tersebut tentunya bukan orang yang sembarangan. Namun demikian, berapa banyak dari kita yang memikirkan pentingnya trust dalam proses belajar seorang anak?

Baru-baru ini ada seorang ibu yang bercerita kepada saya, bahwa anaknya lebih memilih untuk mengikuti cara yang diajarkan guru di sekolah ketimbang cara yang diajarkannya. Walaupun sang ibu sudah menjelaskan bahwa hasilnya akan sama, anaknya tetap bersikeras untuk mengikuti guru, dan menganggap ibunya salah. Mengapa anaknya lebih mempercayai sang guru?

Seorang ahli perkembangan anak bernama Erickson, pernah mengatakan bahwa basic trust, atau kepercayaan yang mendasar dalam diri anak, merupakan fondasi dari proses perkembangan anak yang sehat secara mental. Mengingat pentingnya trust, bagaimana cara kita mengajarkan trust?

Trust tidak dapat diajarkan. Ia akan tumbuh dengan sendirinya ketika anak merasa aman, dan mengalami bahwa orang dewasa itu (baca: orang tua dan guru) dapat diandalkan. Bahwa kita mengerti dan memenuhi kebutuhannya yang masih sulit dia ungkapkan dengan kata-kata. Hal ini berkaitan dengan integritas kita sebagai orang tua maupun guru.

Trust dalam diri anak akan tumbuh ketika kata-kata yang kita ucapkan selaras dengan perbuatan dan juga bahasa tubuh kita. Anak-anak dengan kepekaannya dapat menangkap pesan yang tak terucapkan yang kita tampilkan melalui sorot mata dan bahasa tubuh lainnya. Saat mereka menaruh kepercayaannya kepada seseorang, maka mereka akan bersedia mendengarkan penjelasan dan melakukan tugas-tugas yang diberikan. Saat itulah berlangsung proses belajar yang menyenangkan. Apakah kita trustable?

oleh: Rudangta Arianti Sembiring,M.Psi.


Sumber:

Santrock, J. W. (2002). Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi 5, Jilid I.

Jakarta: Erlangga.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Coupons