Oct 12, 2012

BELAJAR DARI PERTANDINGAN

Pada tanggal 27 Juli - 12 Agustus 2012 yang lalu olimpiade (olympic) di London digelar dan kemudian disusul dengan paralimpiade (paralympic), olimpiade khusus bagi penyandang cacat yang berakhir 9 September 2012. Olimpiade sendiri merupakan ajang olahraga internasional yang diselenggarakan empat tahun sekali dengan mempertandingkan cabang-cabang olahraga serta diikuti oleh ribuan atlet yang berkompetisi dalam berbagai cabang olahraga tersebut. Dengan semangat untuk lebih cepat, lebih tinggi dan lebih kuat (citius, altius, fortius) para atlet yang mengikuti olimpiade atau pun paralimpiade berfokus untuk bisa memberikan yang terbaik. Persiapan mental, fisik dan ketekunan dalam berlatih adalah syarat utama yang dilakukan oleh atlet-atlet tersebut agar bisa berhasil dalam setiap pertandingan. Sama seperti olimpiade dan paralimpiade, berbagai jenis perlombaan dan pertandingan lainnya sering kali kita jumpai.  

Di Salatiga terkadang diselenggarakan lomba menyanyi, menggambar, mewarnai, matematika, fashion, hingga berenang. Ada lomba yang dibuat untuk memperingati hari jadi suatu instansi, ada yang hanya sekedar memeriahkan acara, ada yang khusus untuk mencari anak berbakat untuk diikutsertakan dalam lomba di tingkat yang lebih tinggi. Mengapa perlu pertandingan? Karena pertandingan dapat berfungsi sebagai target, sehingga dapat membuat seseorang termotivasi untuk berlatih. Fungsinya mirip seperti ujian. 

Namun demikian, mempersiapkan anak untuk bertanding dengan baik itu tidak mudah. Diperlukan latihan yang cukup, kadang berbulan-bulan, bahkan tahunan. Persiapan mental untuk bertanding di depan orang banyak, hingga persiapan untuk menghadapi hasil lomba, juga diperlukan. Anak-anak terkadang sulit untuk diyakinkan bahwa persiapan yang matang itu diperlukan. Mereka terkadang bosan berlatih, atau kurang termotivasi, sehingga orang lain yang mengamatinya mungkin berpikir, apakah orangtuanya yang terlalu berambisi? Tetapi justru di situlah pelajaran hidup yang penting. Bahwa untuk mencapai hasil yang baik, dalam bidang apapun, persiapan itu amat penting. Dengan demikian anak-anak belajar untuk tekun, konsentrasi, mengatasi kebosanan, memotivasi diri untuk terus berlatih, menyempurnakan diri, dan tidak mengharapkan hasil yang instan. 



Pada saat lomba, mereka juga belajar untuk mengatasi rasa tegang, tetap percaya diri dan konsentrasi, hingga belajar untuk menerima kemenangan atau kekalahan dengan cara yang baik, yang akan membuat mereka terus termotivasi untuk belajar. Dalam semua proses itulah orangtua berperan penting dan turut belajar. Harapan, kekuatiran, dan cara pandang orangtua akan turut mempengaruhi “ketekunan” orangtua dalam mendampingi anak berlatih, memotivasi, dan mengapresiasi hasil apapun yang nantinya akan dicapai. Sebagai buahnya, seluruh keluarga akan menjadi lebih kompak dan termotivasi untuk maju.


Oleh: Rudangta A. Sembiring, M. Psi










TAWURAN


sumber gambar di sini

Sepanjang tahun 2012, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat pada tahun 2012 sebanyak 103 pelajar menjadi korban tawuran di wilayah Jabodetabek. Dari jumlah tersebut 17 orang meninggal dunia (Kompas Online, 1 Oktober 2012). Kejadian terakhir yang merenggut nyawa AYP (15 tahun) dan DY (17 tahun) kembali menjadi peringatan bagi kita semua, bahwa ada yang tidak beres dengan masyarakat dan sistem pendidikan bangsa ini.
Pertanyaannya adalah pada titik mana kita harus mulai mengurai benang kusut permasalahan ini? Pun tulisan kecil ini tidak bermaksud untuk itu justru saya hanya akan mengajukan beberapa pertanyaan reflektif untuk kita semua.
Dalam rentang perkembangannya, aspek moralitas manusia terbagi dalam tiga tahap utama, yaitu pre konvensional, konvensional dan pasca konvensional (Kohlberg, 1976 dan 1984). Perkembangan moral meliputi aspek kognitif, pikiran serta perilaku manusia yang didasarkan pada standar tentang kebaikan dan yang salah dan terjadi dalam rentang perjalanan hidup manusia. Awalnya kualitas moral manusia ditentukan sepenuhnya oleh lingkungan dan secara perlahan berubah ditentukan oleh individu terkait berdasarkan rasionalitas dan kedewasaannya.
Menilik fenomena tawuran antarpelajar yang terjadi, dapat dikatakan bahwa pada tahap itu (remaja), perilaku moral remaja sangat ditentukan oleh ada atau tidaknya hukuman dan keinginan untuk memenuhi harapan lingkungan. Nah, dengan demikian maraknya tawuran menunjukkan bahwa keberadaan hukuman (sistem hukum) dan kondisi masyarakat sebagai patokan untuk bertindak seturut norma yang ada, sudah kehilangan taji atau sudah tidak adekuat lagi.

sumber gambar di sini

Mengapa remaja tidak takut untuk bertindak melawan hukum? Apakah masyarakat kita sudah tidak dapat berfungsi sebagai teladan untuk berperilaku? Atau memang masyarakat kita tengah mempertontonkan secara pragmatis hasrat necrofilia (menyukai kematian/kekerasan) sehingga itulah yang dipelajari oleh pelajar? Adakah sistem hukum kita telah kehilangan kuasa untuk membuat warga masyarakat (pelajar) menghindari perilaku jahat? Bagaimana dengan peran orang tua? Adakah mereka patut untuk dimintai pertanggungjawaban? Adakah mereka sudah memainkan peran sebagai teladan moral bagi anak-anak mereka? Adakah rumah telah menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi mereka atau sebaliknya sehingga tawuran menjadi wadah katarsis dari tersublimnya kemarahan mereka? Lalu, apa peran kontribusi sekolah dalam gejala sosial seperti ini? Adakah mereka telah memainkan peran sebagai institusi pendidik yang sesungguhnya, termasuk mendidik dimensi moral siswa mereka? Atau hanya menekankan aspek kognitif belaka sembari sibuk dengan program RSBI (RSI)? Solusi?

Oleh :
Yulius Y. Ranimpi, M.Si, Psikolog















 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Coupons