Oct 12, 2012

TAWURAN


sumber gambar di sini

Sepanjang tahun 2012, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat pada tahun 2012 sebanyak 103 pelajar menjadi korban tawuran di wilayah Jabodetabek. Dari jumlah tersebut 17 orang meninggal dunia (Kompas Online, 1 Oktober 2012). Kejadian terakhir yang merenggut nyawa AYP (15 tahun) dan DY (17 tahun) kembali menjadi peringatan bagi kita semua, bahwa ada yang tidak beres dengan masyarakat dan sistem pendidikan bangsa ini.
Pertanyaannya adalah pada titik mana kita harus mulai mengurai benang kusut permasalahan ini? Pun tulisan kecil ini tidak bermaksud untuk itu justru saya hanya akan mengajukan beberapa pertanyaan reflektif untuk kita semua.
Dalam rentang perkembangannya, aspek moralitas manusia terbagi dalam tiga tahap utama, yaitu pre konvensional, konvensional dan pasca konvensional (Kohlberg, 1976 dan 1984). Perkembangan moral meliputi aspek kognitif, pikiran serta perilaku manusia yang didasarkan pada standar tentang kebaikan dan yang salah dan terjadi dalam rentang perjalanan hidup manusia. Awalnya kualitas moral manusia ditentukan sepenuhnya oleh lingkungan dan secara perlahan berubah ditentukan oleh individu terkait berdasarkan rasionalitas dan kedewasaannya.
Menilik fenomena tawuran antarpelajar yang terjadi, dapat dikatakan bahwa pada tahap itu (remaja), perilaku moral remaja sangat ditentukan oleh ada atau tidaknya hukuman dan keinginan untuk memenuhi harapan lingkungan. Nah, dengan demikian maraknya tawuran menunjukkan bahwa keberadaan hukuman (sistem hukum) dan kondisi masyarakat sebagai patokan untuk bertindak seturut norma yang ada, sudah kehilangan taji atau sudah tidak adekuat lagi.

sumber gambar di sini

Mengapa remaja tidak takut untuk bertindak melawan hukum? Apakah masyarakat kita sudah tidak dapat berfungsi sebagai teladan untuk berperilaku? Atau memang masyarakat kita tengah mempertontonkan secara pragmatis hasrat necrofilia (menyukai kematian/kekerasan) sehingga itulah yang dipelajari oleh pelajar? Adakah sistem hukum kita telah kehilangan kuasa untuk membuat warga masyarakat (pelajar) menghindari perilaku jahat? Bagaimana dengan peran orang tua? Adakah mereka patut untuk dimintai pertanggungjawaban? Adakah mereka sudah memainkan peran sebagai teladan moral bagi anak-anak mereka? Adakah rumah telah menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi mereka atau sebaliknya sehingga tawuran menjadi wadah katarsis dari tersublimnya kemarahan mereka? Lalu, apa peran kontribusi sekolah dalam gejala sosial seperti ini? Adakah mereka telah memainkan peran sebagai institusi pendidik yang sesungguhnya, termasuk mendidik dimensi moral siswa mereka? Atau hanya menekankan aspek kognitif belaka sembari sibuk dengan program RSBI (RSI)? Solusi?

Oleh :
Yulius Y. Ranimpi, M.Si, Psikolog















0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Coupons