Feb 14, 2013

Waktu

Oleh : Yulius Ranimpi



Bulan Desember 2012 sudah berlalu. Seperti tahun-tahun yang lalu, pada bulan ini saya melewati beberapa peristiwa personal yang bersifat ulangan. Ayah saya berulang tahun, Keponakan saya berulang tahun, Ayah mertua saya berulang tahun, Tuhan saya berulang tahun, dan tahun pun berulang baru kembali usai tanggal 31 Desember.  Rangkaian ucapan selamat dan harapan, khususnya pada tanggal 25 dan 31 Desember plus 1 Januari, boros ter(di)hamburkan via layanan pesan tertulis yang terpasang di telepon bergerak. Dana khusus untuk berkomunikasi jarak jauh lumayan membengkak (belum lagi ditambah dengan membeli barang-barang lain sebagai simbol manusia baru dan waktu baru).

gambar diunduh di sini
Ritual ini terus berulang (konon, upacara perayaan tahun baru adalah upacara tertua dalam peradaban manusia yang mulanya diselenggarakan pada awal setiap bulan April). Untuk kesekian kalinya saya selalu bertanya pada diri sendiri, apa arti semua ini? Lahir, hidup, meninggal. Ada awal, lalu akan berakhir. Sebagai awal, lahir sangat disyukuri keberadaannya, jika masih bertahan hidup maka ada perayaan ulang tahun. Di ujung semua itu, sebagai akhir-kematian ditangisi (meski ada yang tetap bersyukur). Pesta pora, berbagai macam festival, serta hiruk pikuk sukacita mendampingi peristiwa kelahiran dan pengulangannya di setiap tahun. Berbalikan, dalam akhir hidup justru hadir keheningan, kesenyapan, serta kesedihan. Siklus situasi ini dan konsekuensi ikutannya dalam kehidupan manusia terus berulang. Lagi-lagi saya berpikir, apa artinya semua ini?

Isaac Newton berpendapat bahwa waktu bersifat obyektif, sejenis, sinambung, dan tidak berhingga serta memiliki dimensi satu dan arah yang satu pula (berbeda dengan dimensi ruang yang memiliki 3 dimensi, yaitu depan-belakang, kiri-kanan, dan atas-bawah). Dalam waktu, manusia hanya dapat bergerak ke depan (dalam dunia psikologi, individu bisa saja mandeg/stagnan di waktu/tahap tertentu-fiksasi atau justru hidup mundur dalam masa lalu-regresi). Dalam penjelasannya, filsuf Jerman yang paling menguasai teori Newton-Immanuel Kant-menyebutkan bahwa waktu (bersama dimensi ruang) sudah ada mendahului pengalaman, dan oleh karenanya pengalaman memiliki makna. Waktu bisa bersifat subyektif (karena ada dalam diri manusia) dan juga obyektif karena tidak dapat diubah dan dapat berlaku bagi semua obyek sepanjang tertangkap oleh alat inderawi manusia.
Dengan demikian, dalam dimensi waktu, manusia dengan setiap helaan nafas yang dimilikinya dapat melihat sekaligus menilai keberadaan dirinya, kebermaknaan dirinya sepanjang kepekaan inderawinya berfungsi. Dengan kata lain, kebermaknaan diri dapat dicapai ketika manusia hidup dalam kesadaran. Pengalaman menunggu untuk diberi makna, kala manusia sadar akan setiap peristiwa yang ditemuinya sepanjang lintasan waktu yang dilewatinya.

Sampai dengan detik ini, saat kemeriahan tahun baru, suka cita di usia baru dan baru-baru yang lain masih terasa, apa sesungguhnya yang telah kita lewati? Apa sesungguhnya yang telah kita perbuat? Apa sebenarnya yang telah kita peroleh? Lalu, apa mau kita di waktu yang akan datang? Masih adakah keberanian untuk berharap di masa mendatang? Adakah kegembiraan dan semangat yang membuncah untuk menghidupi masa depan? Atau justru kekecewaan, putus asa, ketakutan, kekecewaan, kefrustrasian, yang menyelimuti?  
Selamat...


23.03
31 Desember 2012

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Coupons