oleh : Yulius Y. Ranimpi, M.Si, Psikolog
Masih
tentang perbedaan. Banyak orang yang menghindari situasi yang kontradiktif.
Sebaliknya, keadaan yang sama, situasi nyaman dan aman, jauh dari konflik,
tidak punya musuh, terhindar dari luka, dan keadaan lain yang serupa adalah
yang dicari oleh kebanyakan.
Rasa heran dan ingin tahu (terhadap “bayangan” diri
sendiri dan lain dalam “gua Plato”) yang telah menjadi mesin penggerak
peradaban manusia, secara perlahan diberangus dan dikubur dalam alam bawah
sadar kemanusiaan. Entah sadar atau tidak, gerakan untuk menjadi seragam dengan
menolak yang berbeda (others/yang lain/liyan), baik secara diam-diam, malu-malu
atau terang-terangan terjadi di segala lini kehidupan manusia.
Perspektif yang digunakan dalam situasi seperti
ini adalah perspektif AKU
dan KAMI. Yang lain
(liyan) adalah yang tidak sama dengan dirinya, berbeda. Kamu tidak sama
dengan saya. Mereka
tidak sama dengan kami. Liyan adalah bukan person, liyan
adalah musuh, liyan adalah
ancaman bagi survival-nya.
Menurut Habermas, kondisi ini terbentuk karena manusia gagal untuk belajar
mengambil alih perspektif orang lain dan melihat dirinya dalam perspektif orang
lain.
http://www.dan-dare.org |
Dengan demikian jangan heran, jika di sekitar kita sekarang terpampang
dengan kentara fenomena dan kejadian yang dilakukan oleh manusia tanpa ada rasa
respek, hormat, toleran, terhadap manusia yang lain. Menjadi terluka, malu, tertindas,
terbatas akses pribadi dan publik, adalah sesuatu yang wajar dialami oleh
liyan. Dalam
konteks sosial, saya menamakan fenomena ini sebagai “gerakan necrofilia”. Gerakan yang
suka dengan dan puas jika liyan mengalami dan hidup dalam penderitaan.
Memang dalam jejak sejarah dan proses kemenjadian
peradaban manusia, kondisi ini sudah tercetak. Itulah yang patut untuk
diherankan. Kok ga ada
perubahan? Kok ga kapok/capek
ya manusia
seperti itu dan ini? Kodrat perubahan yang dikandung manusia dalam dirinya
disangkali keberadaannya. Rame-rame orang
mengejar dan mengupayakan stabilitas, menggapai kepastian. Pertanyaannya adalah
adakah stabilitas itu? Adakah kepastian itu? Bagi saya, saat kita menolak
perbedaan, mendewakan stabilitas dan kepastian dengan jalan membabat liyan,
pada saat itu kita sudah mati. Bukankah perkembangan, pergerakan, dan
pertumbuhan terhenti saat kematian menjemput sang hidup? Dalam terminologi
filsuf Herakleitos, mengingkari perbedaan adalah sama dengan pengingkaran
terhadap kenyataan. Jadi, jika yang ada hanya sama, aku, kami, maka tidak ada
perbedaan, tidak ada kreativitas, tidak ada pertumbuhan, tidak ada
perkembangan, tidak ada kehidupan. Yang nampak hanya hidup yang seolah-olah,
hidup yang palsu. Pseudo
life.
Mau hidup? Rayakan dan hidupi perbedaan!
0 comments:
Post a Comment