Sep 21, 2011

Pseudo - Life


oleh : Yulius Y. Ranimpi, M.Si, Psikolog

   Masih tentang perbedaan. Banyak orang yang menghindari situasi yang kontradiktif. Sebaliknya, keadaan yang sama, situasi nyaman dan aman, jauh dari konflik, tidak punya musuh, terhindar dari luka, dan keadaan lain yang serupa adalah yang dicari oleh kebanyakan.

Rasa heran dan ingin tahu (terhadap “bayangan” diri sendiri dan lain dalam “gua Plato”) yang telah menjadi mesin penggerak peradaban manusia, secara perlahan diberangus dan dikubur dalam alam bawah sadar kemanusiaan. Entah sadar atau tidak, gerakan untuk menjadi seragam dengan menolak yang berbeda (others/yang lain/liyan), baik secara diam-diam, malu-malu atau terang-terangan terjadi di segala lini kehidupan manusia.
      Perspektif yang digunakan dalam situasi seperti ini adalah perspektif AKU dan KAMI. Yang lain (liyan) adalah yang tidak sama dengan dirinya, berbeda. Kamu tidak sama dengan saya. Mereka tidak sama dengan kami. Liyan adalah bukan person, liyan adalah musuh, liyan adalah ancaman bagi survival­-nya. Menurut Habermas, kondisi ini terbentuk karena manusia gagal untuk belajar mengambil alih perspektif orang lain dan melihat dirinya dalam perspektif orang lain. 
http://www.dan-dare.org
     Dengan demikian jangan heran, jika di sekitar kita sekarang terpampang dengan kentara fenomena dan kejadian yang dilakukan oleh manusia tanpa ada rasa respek, hormat, toleran, terhadap manusia yang lain. Menjadi terluka, malu, tertindas, terbatas akses pribadi dan publik, adalah sesuatu yang wajar dialami oleh liyan. Dalam konteks sosial, saya menamakan fenomena ini sebagai “gerakan necrofilia. Gerakan yang suka dengan dan puas jika liyan mengalami dan hidup dalam penderitaan.
Memang dalam jejak sejarah dan proses kemenjadian peradaban manusia, kondisi ini sudah tercetak. Itulah yang patut untuk diherankan. Kok ga ada perubahan? Kok ga kapok/capek ya manusia seperti itu dan ini? Kodrat perubahan yang dikandung manusia dalam dirinya disangkali keberadaannya. Rame-rame orang mengejar dan mengupayakan stabilitas, menggapai kepastian. Pertanyaannya adalah adakah stabilitas itu? Adakah kepastian itu? Bagi saya, saat kita menolak perbedaan, mendewakan stabilitas dan kepastian dengan jalan membabat liyan, pada saat itu kita sudah mati. Bukankah perkembangan, pergerakan, dan pertumbuhan terhenti saat kematian menjemput sang hidup? Dalam terminologi filsuf Herakleitos, mengingkari perbedaan adalah sama dengan pengingkaran terhadap kenyataan. Jadi, jika yang ada hanya sama, aku, kami, maka tidak ada perbedaan, tidak ada kreativitas, tidak ada pertumbuhan, tidak ada perkembangan, tidak ada kehidupan. Yang nampak hanya hidup yang seolah-olah, hidup yang palsu. Pseudo life.

Mau hidup? Rayakan dan hidupi perbedaan!



0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Coupons