Apr 5, 2012

Pengalaman


Sumber gambar di sini
Pengalaman adalah guru yang terbaik. Entah sudah berapa kali kita mendengar atau membaca kalimat di atas. Tidak itu saja, kita sendiri pun kerap mendengungkannya dan biasanya untuk memotivasi orang lain terkhusus kala mengalami peristiwa yang menyakitkan, yang tidak menyenangkan, atau peristiwa yang tidak disadarinya memiliki makna pembelajaran.
Pengalaman adalah bagian dari proses berpengetahuan. Keberadaan suatu aktivitas atau kegiatan dapat disebut sebagai pengalaman ketika hal itu secara sadar dialami dan diarahkan untuk itu. Bukan pengalaman namanya jika tidak ada keterlibatan diri secara sadar di dalam aktivitas tersebut. Oleh karena kesadaran adalah syaratnya, sedianya manusia sudah tahu dan paham akan nilai, tujuan, serta makna yang termuat dalam aktivitasnya. Dan oleh karena itulah kita dapat belajar darinya. Dengan demikian dalam setiap pengalaman pasti ada poin pembelajarannya.
Persoalannya sekarang adalah mengapa slogan di atas masih saja dilantunkan? Adakah manusia sudah sulit untuk menemukan makna pembelajaran dari aktivitasnya, dari pengalamannya? Jika ya, kok bisa? Apa yang membuatnya sulit?
Pertama, budaya instan. Era modern ditandai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat dan terdiferensiasi dengan sangat rinci. Sebagai akibatnya adalah kegampangan melakukan aktivitas. Tidak perlu susah. Tidak perlu letih. Mudah dan cepat. Di satu sisi, hal ini bisa dimaklumi. Namun, ketika kemudahan berubah menjadi mental state dan tercirikan dalam identitas personal, maka di sinilah masalahnya. Mentalitas seperti ini membuat manusia malas untuk terlibat dalam suatu proses. Proses dimaknai sebagai tahapan yang sia-sia, melelahkan, dan membuang waktu. Yang penting bukan proses, tapi hasil. Jika demikian, ngapain susah-susah berproses. Uang adalah hasilnya tidak perlu dipersoalkan bagaimana memperolehnya dan tidak butuh waktu lama untuk memperoleh dalam jumlah yang banyak. Tidak perlu belajar keras, tidak perlu mikir, google it!
Sumber gambar di sini
Kedua, diri yang self-centered. Individualisme telah membuat manusia melihat dan merasa bahwa dirinya sendiri yang paling baik, paling hebat. Tidak ada yang salah dari dirinya, dan tidak ada hal yang perlu diperhatikan dari diri dan hidup orang lain. Tidak ada makna yang dapat diperoleh dari pengalaman dan interaksi dengan orang lain. Kecenderungan ini telah menjebak manusia dalam kubang gila hormat dan apatis terhadap orang lain. Dengan kata lain, tidak ada lagi kesadaran. Jika demikian, bagaimana manusia bisa tumbuh dengan kekayaan makna hidup saat pengalaman tidak lagi menjadi pengalaman. Pasti hampa.

Oleh : Yulius Y. Ranimpi, M.Si, Psikolog




0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Coupons