Apr 27, 2011

KEDISIPLINAN DAN WAKTU


picture from Google
     Aneh rasanya. Hanya 3 kali saya mendengar suara klakson mobil di jalanan selama hampir 5 minggu (dalam periode Maret – April 2011) keberadaan saya di kota Sunshine Coast-Australia. Klakson yang saya dengar, itupun ketika ada orang yang menyeberang zebracross tidak pada saat lampu hijau bagi pejalan kaki menyala. Menurut salah satu teman yang bekerja di University of the Sunshine Coast, klakson hanya akan dibunyikan ketika ada pengguna jalan yang tidak menggunakan jalanan sesuai dengan kegunaannya. Misalnya contoh di atas tadi, lalu jika ada kendaraan yang tingkat lajunya tidak sesuai sehingga membuat jalanan macet, atau terkadang jika ada binatang yang menyeberang jalan. Selain itu, tidak ada.

     Fenomena ini, menjadi bahan perbincangan saya dengan rekan saya dari Salatiga, ketika kami sedang berjalan kaki ke bus depot yang ada di pusat perbelanjaan Marrochydore/Sunshine Plaza untuk menuju ke University of the Sunshine Coast. Yang terjadi adalah perbandingan dengan situasi di Indonesia, khususnya di Salatiga. Hasilnya, tentu saja tidak sebanding. Indonesia (Salatiga) tidak ada apa-apanya. Jelek. Tidak berbudaya. Kacau. Tapi, jujur saja saya tidak suka dengan perbandingan seperti itu. Saya tidak suka jika Indonesia (Salatiga) selalu menjadi perbandingan untuk sesuatu yang jelek dan kacau (karena masih bisa diperdebatkan). Mengapa tidak membandingkan situasi Sunshine Coast itu dengan situasi jalan raya di Chicago, misalnya. Toh, di sana klakson kerap berbunyi seperti di Salatiga. Intinya adalah, mbok ya tidak usah membanding-bandingkan, lha wong tidak pas untuk dibandingkan.
     Hal menarik yang perlu dibincangkan adalah mengapa para pengguna jalan di sana begitu taat pada aturan? Aturan yang ada, benar-benar dijalankan dan dipraktekkan. Aturan tidak dibuat untuk dilanggar. Mengapa ketertiban sungguh-sungguh menjadi prioritas dalam kehidupan bermasyarakat di sana? Mengapa hal itu justru terjadi di negara yang seringkali kita vonis sebagai negara yang individualis, cuek, dan yang mengabaikan aspek societas? Mengapa hal itu tidak terjadi di wilayah kita yang katanya sangat menghargai keberadaan dan kepentingan orang lain? Di mana salahnya atau apakah memang ada yang salah? Apakah memang kemampuan kita untuk melakukan proses objektivikasi, internalisasi, dan eksternalisasi (Berger, 1991) berada dalam tataran yang rendah atau ada faktor lain?
     Terlambat masuk kantor, pulang kantor lebih awal, lampu merah diterobos, jam kerja digunakan untuk ber-facebook­-ria atau bergosip, dan banyak aturan sederhana lain yang semuanya bertujuan agar waktu dan hidup kita lebih produktif telah menjadi catatan kesepakatan atau tumpukan peraturan yang berhenti di atas kertas. Dan ketika punishment dijatuhkan sebagai akibat dari pelanggaraan yang kita buat, mengapa justru kita sering marah dan tidak terima? Padahal terang-terang kita melanggar dan sudah tahu ada konsekuensi dari pelanggaran itu. Inilah yang bikin saya tambah bingung. Aneh memang.

Yulius Y. Ranimpi, M.Si, Psikolog

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Coupons