Aug 15, 2011

Narcissus

Narcissus
Konon, dalam  mitologi Yunani, hiduplah seorang yang memiliki wajah nan rupawan. Narcissus, namanya. Ia adalah anak dari Dewa Sungai, Cephisus.
Ketampanannya terkenal seantero negeri. Jika orang lain bertemu dengannya, adalah muskil untuk tidak jatuh hati.Tak terhitung orang yang jatuh cinta padanya, tak terkecuali Echo, sang peri hutan. Namun, semua cinta itu ditampik oleh Narcissus. Banyak orang bertanya-tanya, siapakah orang yang telah membuat Narcissus  menepis semua ungkapan cinta yang datang padanya? Usut punya usut, orang yang dimaksud tak jua ditemukan. Pada suatu hari usai melakukan perburuan, Narcissus merasa haus dan menemukan “kolam air yang sempurna”. Ketika Narcissus mengarahkan pandangannya ke kolam tersebut, tampak olehnya wajah yang sangat tampan. Seketika itu juga Ia-pun jatuh cinta pada wajah itu. Ia jatuh cinta pada dirinya sendiri. Singkat cerita, akhir hidup Narcissus sangat mengenaskan. Ia meregang nyawa ketika ingin memiliki objek cintanya yang tak lain adalah bayangannya sendiri.

Kisah di atas, kemudian menjadi dasar historis bagi Havelock Ellis, yang pada Abad 19 menghubungkan kisah Narcissus dengan hambatan psikologis, khususnya sebagai bentuk penyimpangan seksual. Suatu patologi cinta diri. Istilah Narsisme sendiri  dibuat oleh Wilhelm Nacke setelah membaca tulisan H. Ellis dan akhirnya tercantum dalam Oxford English Dictionary. Namun, istilah narsisme menjadi populer setelah Sigmund Freud menggunakannya sebagai bagian dari teori Psikoanalisa-nya.  

Dalam konteks pekerjaan, tak jarang kita dituntut untuk senantiasa berhadapan, berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain. Pihak yang tentunya berbeda sepenuhnya dengan kita. Perbedaan itu bisa saja berbentuk penampilan fisik, jenis kelamin, cara berjalan, cara berbicara, cara berpikir, latar belakang pendidikan, suku, agama, ekspresi emosi, cara bekerja dan sebagainya. Kondisi yang bervariatif itu, seringkali menjadi pemantik bagi munculnya konflik di tempat kerja. Situasinya akan bertambah runyam, ketika kita hanya mau mendengarkan serta menjadikan diri kita sebagai satu-satunya tolok ukur keberhasilan atau kesusksesan. Saya dan Aku, adalah istilah-istilah untuk merujuk pada kebenaran, keberhasilan atau kesuksesan. Sedangkan, Anda atau Kamu atau Kalian adalah referensi untuk kegagalan dan oleh karenanya tidak perlu didengar apalagi dipercaya. Mengakui dan kemudian merangkul perbedaan untuk mencari solusi terbaik dengan menggunakan term KITA, jarang ditengok dan (apalagi) digunakan untuk mengelola kepelbagaian itu. Padahal, jika mau, potensi keragaman tersebut dapat diolah menjadi kekuatan yang sangat besar dalam rangka produktivitas.

Memang senang rasanya jika memiliki “wajah tampan/cantik”, tapi ketampanan/kecantikan itu tidak akan pernah berarti ketika tidak ada yang berwajah tidak tampan/tidak cantik.Dapatkah Anda mengatakan bahwa Anda berwajah tampan/cantik, ketika tidak ada satupun orang lain di sekitar Anda? Cintai perbedaan. Olah dan kelola perbedaan. Hasilnya, pekerjaan Anda akan jauh lebih produktif ketimbang ketika Anda terjebak dalam ilusi Narcissus.

Oleh: Yulius Y. Ranimpi, M.Si, Psikolog

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Coupons